RSS Feed

Atamannâ Anna Mishra Ahlâ Baladin

Posted by Afif Muhajir Label:

Sabtu, 29 Oktober. Pesawat Emirates pun landing di Cairo International Airport. Aku dan sembilan teman lainnya ditemani seorang Ust. yang luar biasa menginjakkan kaki di Ardhul Kinanah. Jam 11:00 WK angin Mesir pun menyapa wajah kami semua. Aku seakan tak percaya bahwa daratan yang aku pijak bukan daratan Sumatera lagi. Daratan yang selama ini kupijak dan berjalan di atasnya. Mataku liar menatap sekeliling Bandara. Namun, hanya padang pasir yang aku temukan. Pantas... hatiku mengiyakan. Dengan kondisi seperti ini sangat pantas ulama-ulama besar lahir dari Mesir. Tapi, di lubuk hati kecilku tidak menerima kehidupan seperti ini. Kemudian Kami beranjak menuju Eskalator pengambilan barang yang disimpan di bagasi.


Tidak lupa Kami mengisi kartu keberangkatan/kedatangan untuk warga Indonesia. Lalu melewati petugas pemberi stempel kedatangan untuk kemudian mengambil barang yang dikeluarkan dari bagasi. Satu per satu koper Kami kumpulkan dan setelah lengkap semua kami berjalan menuju gerbang keluar. Dengan langkah yang gagah dan berwibawa seperti seorang Duta, sebenarnya Aku lebih suka berlagak seorang motivator, Aku pun mendahului yang lain. Mencari sosok teman-teman yang sudah lama kurindukan. Ternyata... jarak 30 meter di depan gerbang ada yang melambaikan tangan. Tapi masih samar-samar. Aku bergegas kesana dan tiba-tiba satu genggaman di tangan kananku membuatku terkejut.

“... Astaghfirullahal’azhim... copet... copet... copet Ust...”. Aku terkejut bukan main. Di Bandara Internasional Kairo ada copet? Tunggu dulu, kenapa dia tersenyum?
“Ya Salam... Akram, ente kiranya. Bikin kaget aja. Wah.. ente udah jauh berubah ya... ane aja yang sering makan nggak nambah-nambah juga nih. Gimana kabarnya? Sehat?” Lama Kami berpelukan. Melepas rindu yang sekian lama tertahan.
 “Alhamdulillah, kama taro... makmur kan? Hehe.. yuk teman-teman udah pada nungguin tuh”. Kami menyusul teman-teman yang sudah keluar ruangan.

Setelah semua melepas rindu dengan pelukan hangat persaudaraan, kami pun berangkat menuju suatu tempat yang bernama Bawwabat. Bertolak dari Bandara dengan mobil Pariwisata bangku 50 berwarna biru metalik. Ada perasaan haru yang tak bisa kuungkapkan ketika itu. Sungguh ikatan persaudaraan yang begitu kuat walau pun belum saling kenal satu sama lainnya. Atas nama Keluarga Mahasiswa Minangkabau (KMM) semuanya menjadi seperti sebuah keluarga idaman. Inikah persaudaraan minang yang sesungguhnya?

20 menit berlalu. Kami sampai di bundaran bernama Zahra. Dan tantangan pertama pun bermula. Macet. Ternyata macet bukan permasalahan Jakarta saja sebagai Kota Metropolitan Indonesia. Namun, Mesir juga mempunyai Kota Metropolitan, Cairo City. Kenapa harus macet di saat kebahagiaan sedang mengisi dada. Mengapa harus terjadi di saat kenikmatan ukhuwah sedang berbunga. Untung saja musim panas yang membakar sudah berlalu. Haah... hatiku merasa lega. 10 menit akhirnya terlepas juga dari jebakan macet di Zahra.

Sekarang menuju Hay ‘Asyir. Nama yang unik lagi setelah Zahra. Perjalanan dari Zhara kemudian melewati Hay ‘Asyir. Membuatku berprasangka buruk tentang Mesir. Bahkan Jikalau badan ini bisa balik kanan dan melangkah lagi ke Bandara mungkin akan kulakukan. Namun, sesuatu yang mustahil untuk melakukan itu. Baju tergantung dimana-mana. Sampah seakan-akan menjadi pengganti taman-taman bunga yang indah. Macet yang seperti tak ada ujungnya. Astaghfirullahal’azhim... hatiku kembali bergeming. Pertengkaran begitu mudahnya terjadi. Di depan mataku sendiri. Aku tak tahu apa masalahnya. Mungkin antara sopir dan preman pasar. Isi otakku seakan-akan dilumatkan seperti bahan yang diaduk-aduk untuk membuat adonan kue. Sampai-sampai aku hanya berfikir untuk pulang kembali ke tanah air.

“Akram... ane nggak kan tahan kalo begini...”. Bisikku pada Akram yang duduk di sampingku.
Ente akan menemukan nikmatnya hidup di Mesir, jika ente sedikit bersabar... semuanya butuh proses Ridho, hanya perlu sedikit kesabaran”. Bisiknya menguatkanku.

Mobil Pariwisata biru metalik melewati Hay ‘Asyir kemudian beranjak menuju Bawwabat. Aku masih belum bisa menerima keadaan seperti ini. Lingkungan yang kumuh dengan sampah bertebaran di mana-mana, lalu lintas yang tidak teratur. Sampai-sampai Aku berpikir. Lebih nyaman jika Aku hidup di Jakarta dan menjalani masa kuliah di Lembaga Ilmu Pendidikan Islam dan Arab (LIPIA) di Indonesia.

“ini namanya Suq Sayyarot, Ridho...”. Akram menyadarkanku dari pergumulan pikiran yang kacau tadi.
“Ntar, ente akan bisa liat jalanan ini penuh dengan segala jenis mobil yang siap dijual. Pada hari Jum’at dan Minggu, ente akan liat lautan mobil Do..”. Tambahnya dengan begitu antusias. Aku hanya membalas dengan anggukan dan senyuman yang dipaksakan.

Melewati Suq Sayyarot hingga sampai di depan toko bermerekkan Khairu Zaman dengan papan nama berwarna hijau. Mungkin di sini Aku akan menemukan titik balik nya. Titik balik yang bisa membuatku bertahan di negri perjuangan ini. Dan ketika Kami keluar dari mobil, di depan gerbang antara toko Khairu Zaman sudah menanti beberapa orang yang berpakaian rapi lengkap dengan Jasnya. Tapi, apakah ini yang Aku butuhkan? Kembali batinku menjerit. Kemudian mereka berjalan menghampiri Kami. Kemudian menyalami kami satu per satu sambil mengucapkan kalimat yang sama.

“Ahlan wa sahlan wa marhaban bikum fi ardhil kinanah... Selamat berjuang di Negri Seribu Menara”. Tentunya dengan senyuman dan pelukan erat dari mereka.

Terakhir baru Aku tahu dari Akram, bahwa mereka adalah para petinggi Masisir. Dari ketua kekeluargaan, Presiden PPMI, dan beberapa orang dari pihak KBRI. Dan saat itu Aku pun tersadar bahwa Aku tidak akan pernah sendirian. Sambil berkata dalam hati kecilku, atamanna anna Mishra ahla baladin. []                                                                                   

0 komentar:

Posting Komentar